Dunia Kecilku

Life with a Better Quality

13 Hari Displin Ber-Diet


Setiap wanita mendambakan tubuh yang indah, ga' heran juga kenapa beberapa wanita rela menghabiskan beribu-ribu rupiah bahkan berjuta rupiah untuk memperoleh bentuk tubuh yang di inginkan. Apalagi kalo si Wanita telah melahirkan,Hohoho... Melar kemana-mana. Dan untuk beberapa wanita mengembalikan bentuk tubuh ke ukuran ke semula susah-nya minta ampun.

Nah berikut di bawah adalah resep yang mungkin kudu di coba... asal ada Niat, Semangat dan kemauan tuk' mengembalikan Body ke ukuran semula pasti mudah.

Beberapa teman sudah mencoba dan mereka rata-rata berhasil tentu saja dengan 1 kata Disiplin. Silahkan Coba ...


MENU DIET 13 HARI

PANTANGAN : GARAM (ASIN)


SYARAT :
1. Satu hari minum 8 gelas besar air putih (jangan air es), kurang lebih 2 liter air putih
2. Daging bistik digoreng dalam Danish Butter/Minyak Jagung/Butter unsalted (tawar)
3. Sayuran biasanya 1 ikat bayam, jangan direbus terlalu lama (tanpa garam), dan selada dimakan mentah
4. Makan malam terakhir pk. 18:00
5. Air putih dapat diminum setiap jam
6. Sebaiknya tinggal di rumah karena kita buang air kecil bisa mencapai 8x sehari
7. Buang air besar jarang sekali karena hampir semua makanan diserap oleh tubuh
8. Diet ini hanya menghilangkan lemak, jangan takut ada efek sampingan

KEUNTUNGAN :
1. Diet ini jika diikuti betul-betul (tidak menyimpang sedikitpun), akan menurunkan berat badan anda 7-8 kg
2. Diet ini telah diselidiki bahwa keadaan kimia di dalam tubuh semakin baik, sehingga tidak ada kemungkinan untuk bisa menjadi gemuk lagi
3. Asalkan setelah hari ke-14, makannya secara normal kembali (tidak berlebih-lebihan)
4. Diet ini cukup dilakukan sekali dalam setahun

PERLU DIPERHATIKAN :
Apabila lupa, tiba-tiba makan sesuatu yang menyimpang dari diet ini, misalnya hari ke-4 atau misalnya sudah hampir selesai (hari ke-12), diet ini harus diulang lagi dari hari pertama. Sebab nantinya walaupun berat badan kita turun, tetapi kemungkinan untuk bisa gemuk lagi akan terjadi dengan adanya penyimpangan tersebut.

MENU DIET :

Hari ke-1 dan ke-8 :
Pagi : 1 cangkir kopi/teh dengan 1 sendok gula diet
Siang : 2 butir telur rebus matang + 1 ikat bayam direbus sebentar + 1 buah tomat segar
Malam : 100 gr daging bistik goreng + slada diberi jeruk citrun/jeruk nipis

Hari ke-2 dan ke-9 :
Pagi : 1 cangkir kopi/teh dengan 1 sendok gula equal
Siang : 60 gr bistik goreng + slada + 1 buah segar
(jeruk/semangka/ belimbing/ jambu)
Malam : 120 gr ayam kukus + 1 gelas susu nonfat tanpa gula

Hari ke-3 dan ke-10 :
Pagi : 1 cangkir kopi/teh + 1 sendok gula diet + 1 potong roti tawar bakar
Siang : 2 butir telur rebus + 1 buah tomat + 1 buah segar + 1 ikat bayam/kangkung
Malam : 120 gr ayam kukus + slada yang ditaburi jeruk citrun/nipis

Hari ke-4 dan ke-11 :
Pagi : 1 cangkir kopi/teh + 1 sendok gula diet + 1 potong roti tawar bakar
Siang : 1 telur rebus + 1 wortel (rebus sebentar) + 1 potong keju non fat
Malam : 1 mangkok penuh pepaya ditaburi jeruk citrun/nipis + 1 gelas susu non fat tanpa gula

Hari ke-5 dan ke-12 :
Pagi : 1 wortel besar mentah diparut kasar ditaburi jeruk nipis
Siang : 120 gr ayam kukus dengan sedikit saus mentega yang tidak asin
Malam : 60 gr bistik goreng (minyak jagung) + selada mentah + bayam direbus sebentar

Hari ke-6 dan ke-13
Pagi : 1 cangkir kopi/teh tanpa gula + 1 potong roti tawar bakar
Siang : 120 gr ayam kukus + selada yang ditaburi jeruk nipis
Malam : 2 telur rebus + 1 wortel besar mentah parut ditaburi jeruk nipis

Hari ke-7
Pagi : 1 cangkir kopi/teh tanpa gula diet
Siang : 60 gr bistik goreng + 1 buah segar
Malam : Dilarang Makan


Keliatan berat neh... resepnya, tapi cobain deh.
Ingat displin kunci keberhasilan.
Selamat mencoba .....
Good Luck Guys.

Pendidikan Watak Lewat Pembiasaan

KOMPAS.com - Bagaimana seorang anak bisa jadi pribadi berwatak, yang secara naluriah menjalankan kebaikan dan menampik keburukan? Perlukah anak diberi pendidikan budi luhur di sekolah untuk menjadi pribadi berintegritas moral tinggi?

Tidak perlu. Itulah jawaban yang bisa dipetik dari buku terbaru Franz Magnis-Suseno berjudul "Menjadi Manusia, Belajar dari Aristoteles".

Menurut Magnis, yang lebih diperlukan untuk menghasilkan pribadi yang beretika adalah pembiasaan. Tapi Magnis memngingatkan orangtua bahwa dalam mempraktikkan pembiasaan itu, anak tak perlu dipaksa-paksa.

"Anak tak perlu dipaksa berlaku etis, tapi dibantu agar mereka merasa gembira saat berbuat baik dan sedih saat berbuat buruk," kata Magnis.

Inilah tragedi zaman yang penuh kelimbahan material bagi sebagian orang: di sekolah anak-anak diajari berbagai keutamaan hidup, menghormati orang lain, berlaku hemat, tapi di rumah mereka dibiarkan menyuruh pembantu rumah semau "gue", menyantap makanan berlebih dan membuangnya saat tak sanggup menghabiskannya.

Hegemoni kapitalisme memang tak bersahabat dengan keutamaan etis: pola hidup ugahari sudah terasa kuno. Yang dipeluk banyak orang adalah membeli dan membeli. Berbelanja berlebih disahkan bahkan didorong-dorong untuk menghidupkan pertumbuhan ekonomi.

Orang kecil yang menjadi pelayan di mal-mal akan ikut "sekarat" jika orang berduit tidak membeli lagi perkakas rumahnya yang sebetulnya masih mencukupi. Para pelayan dan satpam rumah-rumah makan mewah tak akan dapat upah jika semua orang berpola hidup ugahari dengan memasak sendiri makanan mereka.

Di zaman ini, ada nilai etisnya sendiri jika seseorang memanjakan perutnya dengan sekali makan bisa menghabiskan Rp300.000,- misalnya. Atau, jika seseorang meneguk anggur merah berkualitas seharga Rp200.000,- segelas, orang itu menghidupkan mata rantai ekonomi yang mendatangkan nafkah bari banyak kaum pas-pasan.

Lantas bagaimana memecahkan perkara pola hidup ugahari bagi pendidikan watak anak-anak? Buku Magnis ini tak memberi jawab. Magnis cuma mengingatkan orangtua bahwa anak-anak tak perlu dikuliahi untuk berbuat baik tapi cukup diajak berlaku etis.

Buku ini cukup simpel dalam menemukan ukuran apakah seorang bisa dianggap berhasil atau gagal di bidang perilaku etik. Orang itu bisa disebut bermoral atau tak bermoral bergantung pada situasi batin tatkala berbuat baik atau jelek.

Kalau dia senang berbuat jelek dan berat hati berbuat baik, dia dimasukkan dalam kategori gagal moral. Sebaliknya, sukses moral terjadi ketika seseorang bahagia berbuat baik dan sedih berbuat jelek.

Agaknya, kategori itu bisa dijadikan pegangan untuk mendidik moral anak. "Reality show" yang banyak ditayangkan teve belakangan ini juga langsung atau tak langsung dapat membantu mengarahkan pemirsanya untuk merasakan bahwa berbuat etis itu membahagiakan.

Tentu saja, tayangan itu tak memadai untuk membangun watak etis anak-anak. Anak perlu pembiasaan. Bukan sekadar membiasakan menonton orang berbuat luhur seperti di "reality show" itu.

Yang hendak dikatakan oleh Magnis adalah: membiasakan anak berlaku etis akan sampai pada pendidikan terpenting bahwa anak-anak dituntun untuk menjadi bahagia karena berlaku etis.

Kebahagiaan, kata Magnis yang mendasarkan uraiannya pada pikiran Aristoteles, tak bisa dicari dengan memburu yang nikmat dan menghindari yang menyakitkan.

Kebahagiaan tak bisa diburu secara langsung. Kebahagiaan itu akibat dari tindakan, perbuatan nyata. Jika dikejar secara langsung. Kebahagiaan bisa mengelak.

Rupanya anak perlu sejak dini diajak merasakan beda antara nikmat dan bahagia. Anak perlu dibiasakan untuk merasakan nikmat luhur, yang artinya adalah nikmat yang didapat dari berbuat kebaikan. Tapi perlu ditunjukkan bahwa ada nikmat keji seperti nikmat yang diperoleh dengan mengadu jago, jengkerik, domba, mengurung burung dalam sangkar.

Beda dengan nikmat yang bisa dirasakan saat perbuatan itu dilakukan, bahagia itu lebih belakangan dan tak menghentak datangnya. Orang yang bahagia bisa merupakan pribadi apapun.

Tapi orang yang sedang menikmati tari perut, misalnya, hanya dirasakan oleh orang yang bisa mengakses hiburan asal kultur Mesir itu.

Bahagia bisa diakses oleh sufi miskin yang sebagian besar waktunya dihabiskan dengan zikir di rumah Allah, atau si zuhud yang tak kuasa menahan rindu bertemu kerajaan-Nya.

Kaum Trappist, yang menunya dari hari ke hari hanya kacang-kacangan, dan tak pernah mereguk sorga duniawi, pun merasa bahagia bahkan merasa heran bahwa ada pemburu kebahagiaan lewat kenikmatan duniawi.

Ada zaman ketika seorang filosof Epikurus diikuti banyak orang karena ajarannya yang memuja kenikmatan duniawi, yang melahirkan kultur hedonisme. Meski tak lagi menjadi arus utama, masih ada orang zaman sekarang yang menganut aliran bernikmat-nikmat keduniawian itu.

Apakah anak-anak akan termakan juga oleh Epikurus? Itulah yang agaknya menjadi tantangan pendidik saat ini dan nanti.